Monday, May 30, 2016

Takazawa: Preman Jepang yang masuk Islam

Hidayah Allah seringkali datang dengan berbagai cara tak terduga dan bisa menghampiri siapapun yang dikehendaki-Nya. Seperti yang dialami oleh seorang mantan anggota geng Yakuza, Taki Takazawa. 

Dahulu Takazawa adalah tukang tato para anggota kelompok mafia paling ditakuti di Jepang, Yakuza. Penampilannya begitu menakutkan dengan rambut gondrong dan tubuh dipenuhi tato. Selama 20 tahun profesi itu digelutinya.
Namun siapa sangka kini Takazawa berubah 180 derajat. Perubahan besar dalam hidup dialaminya setelah ia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, kini ia mengganti namanya menjadi Abdullah yang berarti 'Hamba Allah SWT'. Takazawa kini bahkan telah menjadi Imam besar di sebuah masjid di Ibukota Jepang, Tokyo.
Suara indahnya ketika mengumandangkan azan bisa terdengar hingga seantero Tokyo tiap kali waktu salat tiba.Dilansir Dream dari Islamicmovement.org, perkenalan Takazawa dengan Islam berlangsung secara tidak sengaja. Berawal ketika dirinya sedang ada di wilayah Shibuya.
Ia melihat seseorang dengan berkulit putih dan berjanggut putih. Orang itu mengenakan baju dan turban yang juga berwarna putih. "Orang itu memberikan sebuah kertas dan menyuruh saya untuk membaca kalimat yang tertera di dalamnya," ujar Takazawa.
Kalimat itu ternyata syahadat, pengakuan pada keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Seperti kebanyakan penduduk Jepang, saat itu Takazawa masih menganut aliran kepercayaan Shinto sehingga ia kesulitan untuk memahami keseluruhan maksud kalimat syahadat tersebut. Namun diakuinya, ia pernah sepintas mendengar nama Allah dan Muhammad.
Pertemuan dengan orang serba putih itu rupanya begitu membekas di ingatan Takazawa. Ia pun terus mencaritahu makna di balik pesan kalimat syahadat yang diterimanya.
Hingga akhirnya, dalam pencarian tersebut Takazawa mendapatkan hidayah dan memutuskan untuk menjadi seorang mualaf.
Tak dinyana, dua tahun setelah memeluk Islam, ia bertemu lagi dengan sosok pria serba putih yang mengubah hidupnya. "Ternyata dia adalah salah seorang Imam di Masjid Nabawi, Kota Madinah, Arab Saudi. Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengannya," kata Takazawa.
Setelah pertemuan kedua itu, Imam Masjid Nabawi tersebut meminta Takazawa untuk melaksanakan ibadah haji dan menimba ilmu di Kota Mekah selama beberapa bulan.
Ia pun melakukan haji ke Mekah atas undangan pemerintah Arab Saudi pada tahun 2008, melanjutkan studi dan melakukan dakwah selama berada di Saudi. Saat Takazawa berada di Madinah ia bahkan pernah menjadi Imam di Masjid Nabawi.
Sepulangnya dari Arab, Takazawa dipercaya untuk menjadi Imam di sebuah masjid besar di wilayah Kabukicho, Tokyo. Kini, Abdullah Taki Takazawa dikenal sebagai satu dari lima Imam besar Masjid yang ada di Jepang. (Ism)

Asal-usul Syiah dan Dokrinnya

Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah sekte dengan jumlah penganut terbesar kedua dalam agama Islam, setelah Sunni. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan penganut Sunni, dan 10% penganut Syi'ah.[1] Madzhab Dua Belas Imam atau Itsna Asyariyyah merupakan yang terbanyak jumlah penganutnya dalam sekte ini, dan istilah Syi'ah secara umum sering dipakai merujuk pada mazhab ini. Pada umumnya, Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah pertama, seperti juga Sunni menolak Imamah Syi'ah setelah Ali bin Abi Thalib. Madzhab Syi'ah Zaidiyyah termasuk Syi'ah yang tidak menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Secara bahasa, kata "Syi'ah" adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak-nya adalah "Syiya'an" (شِيَعًا). Syī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari sekte tersebut.

Perangko Iran bertuliskan Hadits Gadir Kum. Ketika itu Nabi Muhammad menyebut Ali sebagai mawla.
Istilah Syi'ah berasal dari Bahasa Arab (شيعة) "Syī`ah". Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan bentuk pluralnya adalah "Syiya'an". Pengikut Syi'ah disebut "Syī`ī" (شيعي).
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah "Syi`ah `Ali" (شيعة علي) yang berarti "pengikut Ali", yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat "khair al-bariyyah", saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda, "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya 'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".[2]
Kata "Syi'ah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu perkara.[3]
Adapun menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang paling utama di antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim, demikian pula anak cucunya.[4]
Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan.

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Menurut keyakinan Syi'ah, Ali berkedudukan sebagai khalifah dan imam melalui washiat Nabi Muhammad.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Ahlus Sunnah menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

Dalam Syi'ah, ada Ushulud-din (perkara pokok dalam agama) dan Furu'ud-din (perkara cabang dalam agama). Syi'ah memiliki lima perkara pokok, yaitu:
  1. Tauhid, bahwa Tuhan adalah Maha Esa.
  2. Al-‘Adl, bahwa Tuhan adalah Mahaadil.
  3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
  4. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
  5. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya Hari Kebangkitan.
Dalam perkara ke-nabi-an, Syi'ah berkeyakinan bahwa:
  1. Jumlah nabi dan rasul Tuhan adalah 124.000.
  2. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad.
  3. Nabi Muhammad adalah suci dari segala aib dan tanpa cacat sedikitpun. Dia adalah nabi yang paling utama dari seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan.
  4. Ahlul-Bait Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan 9 Imam dari keturunan Imam Husain adalah manusia-manusia suci sebagaimana Nabi Muhammad.
  5. Al-Qur'an adalah mukjizat kekal Nabi Muhammad.
Sekte-sekte Syiah:



Aliran Syi'ah dalam sejarahnya terpecah-pecah dalam masalah Imamiyyah. Sekte terbesar adalah Dua Belas Imam, diikuti oleh Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Ketiga kelompok terbesar itu mengikuti garis yang berbeda Imamiyyah, yakni:

Disebut juga Imamiyyah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) karena mereka percaya bahwa yang berhak memimpin kaum Muslim hanyalah para Imam dari Ahlul-Bait, dan mereka meyakini adanya dua belas Imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan Imamnya adalah:
  1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
  2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
  3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
  4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
  5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
  6. Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
  7. Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
  8. Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
  9. Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
  10. Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
  11. Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari
  12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

Zaidiyyah

Disebut juga Syi'ah Lima Imam karena merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan Imamnya adalah:
  1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
  2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
  3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
  4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
  5. Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

Ismailiyyah

Disebut juga Syi'ah Tujuh Imam karena mereka meyakini tujuh Imam, dan mereka percaya bahwa Imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan Imamnya adalah:
  1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
  2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
  3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
  4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
  5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
  6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
  7. Ismail bin Ja'far (721755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

Status

Indonesia

Di Indonesia, Suryadharma Ali selaku menteri agama, di gedung DPR pada 25 Januari 2012 menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama menyatakan Syiah bukan Islam, "Selain itu, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pernah mengeluarkan surat resmi No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober 1997, ditandatangani Rais Am, M Ilyas Ruchiyat dan Katib KH. Drs. Dawam Anwar, yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh propaganda Syiah dan perlunya umat Islam Indonesia memahami perbedaan prinsip ajaran Syiah dengan Islam. "Menag juga mengatakan Kemenag mengeluarkan surat edaran no. D/BA.01/4865/1983 tanggal 5 Desember 1983 tentang hal ihwal mengenai golongan Syiah, menyatakan Syiah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam." Majelis Ulama Indonesia sejak lama telah mengeluarkan fatwa penyimpangan Syi'ah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada Rakernas MUI 7 Maret 1984[5] Selain itu, MUI Pusat telah menerbitkan buku panduan mengenai paham Syi’ah pada bulan September 2013 lalu berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.[6][7]

Malaysia

Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa Syi'ah adalah sekte yang menyimpang dari Hukum Syariat dan Undang–Undang Islam yang berlaku di Malaysia, dan melarang penyebaran ajaran mereka di Malaysia.[8][9]

Yordania

Pada Juli tahun 2005, Raja Abdullah II dari Yordania mengadakan sebuah Konferensi Islam Internasional yang mengundang 200 ulama dari 50 negara, dengan tema "Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern" (27-29 Jumadil Ula 1426 H. / 4-6 Juli 2005 M.) Di Amman, ulama-ulama tersebut mengeluarkan sebuah pernyataan yang dikenal dengan sebutan Risalah Amman, yang menyerukan toleransi dan persatuan antar umat Islam dari berbagai golongan dan mazhab yang berbeda-beda.[10]

Hubungan Sunni-Syi'ah

Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[11]
Orang Islam menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan.[12] Syi'ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif. Namun demikian, An-Naubakhti menganggap Abdullah bin Saba' benar ada, dan menuliskan hingga belasan riwayat lengkap dengan sanad yang mutawatir bahwa Abdullah bin Saba' ada.
Namun terdapat pula kaum Syi'ah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.--> Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan di antara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.[13]

Istilah Rafidhah

Sebutan Rafidhah erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan pada tahun 121 H.[14]
  • Syaikh Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: "Kalian tinggalkan aku?" Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka "Rafadhtumuunii".[15]
  • Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam "Majmu' Fatawa" (13/36) ialah bahwa Rafidhah pasti Syi'ah, sedangkan Syi'ah belum tentu Rafidhah; karena tidak semua Syi'ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Syi'ah Zaidiyyah.
  • Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka dia (Imam Ahmad) menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar'."[16]
  • Pendapat juga diutarakan oleh Imam Syafi'i. Ia pernah mengutarakan pendapatnya mengenai Syi'ah dalam diwan asy-Syafi'i melalui penggalan syairnya: "Jika Rafidhah itu adalah mencintai keluarga Muhammad, Maka hendaknya dua makhluk (jin dan manusia) bersaksi bahwa aku adalah seorang Rafidhi.", Dia juga berkata, "Mereka mengatakan, ‘Kalau begitu Anda telah menjadi Rafidhi?’ Saya katakan, ‘Sekali-kali tidak… tidaklah al-Rafdh (menolak Khalifah Abu Bakar dan Umar) itu agamaku, tidak juga keyakinanku." Imam Asy-Syafi'i berkata: "Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari Syi’ah Rafidhah." () [17]  (dikutip dari Wikipedia)

Wednesday, May 25, 2016

Jihad

The literal meaning of Jihad is struggle or effort, and it means much more than holy war. Muslims use the word Jihad to describe three different kinds of struggle:
  • A believer's internal struggle to live out the Muslim faith as well as possible
  • The struggle to build a good Muslim society
  • Holy war: the struggle to defend Islam, with force if necessary
Many modern writers claim that the main meaning of Jihad is the internal spiritual struggle, and this is accepted by many Muslims.
However there are so many references to Jihad as a military struggle in Islamic writings that it is incorrect to claim that the interpretation of Jihad as holy war is wrong.

Jihad and the Prophet

The internal Jihad is the one that Prophet Muhammad is said to have called the greater Jihad.
But the quotation in which the Prophet says this is regarded as coming from an unreliable source by some scholars. They regard the use of Jihad to mean holy war as the more important.

The internal Jihad

An open Qur'an Learning the Qur'an by heart is considered engaging in Greater Jihad © The phrase internal Jihad or greater Jihad refers to the efforts of a believer to live their Muslim faith as well as possible.
All religious people want to live their lives in the way that will please their God.
So Muslims make a great effort to live as Allah has instructed them; following the rules of the faith, being devoted to Allah, doing everything they can to help other people.
For most people, living God's way is quite a struggle. God sets high standards, and believers have to fight with their own selfish desires to live up to them, no matter how much they love God.

The five Pillars of Islam as Jihad

The five Pillars of Islam form an exercise of Jihad in this sense, since a Muslim gets closer to Allah by performing them.
Other ways in which a Muslim engages in the 'greater Jihad' could include:
  • Learning the Qur'an by heart, or engage in other religious study.
  • Overcoming things such as anger, greed, hatred, pride, or malice.
  • Giving up smoking.
  • Cleaning the floor of the mosque.
  • Taking part in Muslim community activities.
  • Working for social justice.
  • Forgiving someone who has hurt them.

The Greater Jihad controversy

The Prophet is said to have called the internal Jihad the "greater Jihad".
On his return from a battle, the Prophet said: "We are finished with the lesser jihad; now we are starting the greater jihad." He explained to his followers that fighting against an outer enemy is the lesser jihad and fighting against one's self is the greater jihad (holy war).
This quotation is regarded as unreliable by some scholars. They regard the use of jihad as meaning 'holy war' as the more important.
However the quotation has been very influential among some Muslims, particularly Sufis.

Holy war

When Muslims, or their faith or territory are under attack, Islam permits (some say directs) the believer to wage military war to protect them.
However Islamic (shariah) law sets very strict rules for the conduct of such a war.
In recent years the most common meaning of Jihad has been Holy War.
And there is a long tradition of Jihad being used to mean a military struggle to benefit Islam.

What can justify Jihad?

There are a number of reasons, but the Qur'an is clear that self-defence is always the underlying cause.
Permissable reasons for military Jihad:
  • Self-defence
  • Strengthening Islam
  • Protecting the freedom of Muslims to practise their faith
  • Protecting Muslims against oppression, which could include overthrowing a tyrannical ruler
  • Punishing an enemy who breaks an oath
  • Putting right a wrong

What a Jihad is not

A war is not a Jihad if the intention is to:
  • Force people to convert to Islam
  • Conquer other nations to colonise them
  • Take territory for economic gain
  • Settle disputes
  • Demonstrate a leader's power
Although the Prophet engaged in military action on a number of occasions, these were battles to survive, rather than conquest, and took place at a time when fighting between tribes was common.
(BBC)


Friday, July 24, 2015

Menjual dunia untuk akhirat


SA’ID BIN ‘AMIR AL JUMAHY, termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang  pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin ‘Ady, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka jatuhi hukuman tanpa alasan. Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Sa’id maju menerobos orang banyak yang  berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan lain-lain.
  
Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara  para wanita, anak anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin  membalas dendam terhadap Nabi Muhammad saw., beserta  melampiaskan sakit hati atas ke kalahan mereka dalam perang Badar. Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, ‘Sa’id mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin ‘Ady. ‘Said mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, “Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua raka’at sebelum saya kalian bunuh....”  Kemudian Sa’id melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua raka’at. Alangkah bagus dan sempurna shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, “Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku  melama-lamakan shalat untuk melambat-lambatkan waktu kerana takut mati, nescaya saya akan shalat lebih banyak lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Sa’id melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencencang-cencang tubuh Khubaib hidup hidup.  Kata mereka, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau  
kami bebaskan?” “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan isteri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri....,” jawab Khubaib mantap.“Bunuh dia...! Bunuh dia...!” teriak orang banyak.Sa’id melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil mendo’a, “Ya, Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkanlah mereka semua.nJangan disisakan seorang jua pun!”  
Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang gantungan.  Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka kerana tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya. Kaum kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut nyawa Khubaib dengan sadis. Tetapi Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy yang baru meningkat usia remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau agak sedetikpun. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua raka’at dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendo‘akan kaum kafir Quraisy. Kerana itu Sa’id ketakutan kalau-kalau Allah swt. segera mengabulkan do’a Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.  Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan pada Sa’id beberapa  hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.  
Pertama, hidup yang sesungguhnya ialah hidup berakidah (beriman); kemudian berjuang  mempertahankan ‘akidah itu sampai mati.  
Kedua, iman yang telah terhunjam dalam di hati seorang dapat menimbulkan hal-hal  yang ajaib dan luar biasa.  
Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang  dikukuhkan dari langit.  
Sejak itu Allah swt. membukakan hati Sa’id bin ‘Amir untuk menganut agama Islam.  Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala. Kerana itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu  dibuangnya berhala-hala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya bahwa mulai saat itu dia masuk Islam.  
Tidak lama sesudah itu, Sa id menyusul kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia  senantisasa mendampingi Nabi s.a.w. Dia ikut berperang bersama beliau, mula mula dalam  peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya. Setelah Nabi saw. berpulang ke rahmatullah, Sa’id tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar. Dia menjadi teladan satu-satuya bagi orang orang mu’min yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.  
Kedua Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar bin  Khaththab, mengerti bahwa  ucapan-ucapan Sa’id sangat berbobot, dan taqwanya sangat tinggi. Kerana itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Sa ‘id. Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah ‘Umar  bin Khaththab, Sa’id datangmkepadanya memberi nasihat.  
Kata Sa’id, “Ya ‘Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut  kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Kerana sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan.  
Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum muslimin baik  yang jauh mahupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai.  Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan ke luarga Anda tidak sukai. Arahkan semua  karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”  
“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Sa’id?” tanya Khalifah ‘Umar.  
“Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah ummat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Sa’id meyakinkan.  
Pada suatu ketika Khalifah ‘Umar memanggil Sa’id untuk diserahi suatu jabatan dalam  pemerintahan. “Hai Sa’id! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar. “Wahai ‘Umar! Saya memohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya  condong kepada dunia,” kata Sa’id.  
“Celaka Engkau!” balas ‘Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahn ini dipundakku, tetapi kemudian Engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.” 
“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Sa’id.  
Kemudjan Khalifah ‘Umar melantik Sa ‘Id menjadi Gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan, Khalifah ‘Umar bertanya kepada Sa’id, “Berapa gaji yang Engkau  inginkan?”  
“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mu’minin?” jawab Sa’id balik  
bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari pemberian di Baitul Mal sudah cukup?”  
Tidak berapa lama setelah Sa b‘id memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah ‘Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Hims yang di tugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.  
Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah ‘Umar meminta daftar fakir miskin  Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan, dan nama Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy.  
Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Sa’id bin ‘Amir Al- Jumahy. Lalu beliau bertanya “Siapa Sa ‘id bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?”  
“Gubernur kami! “jawab mereka. 
“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya khalifah heran.  
“Sungguh, ya Amiral Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.  
Mendengar perkataan itu, Khalifah ‘Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh  membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu  dinar. “Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Sa’id bin ‘Amir.  
Dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah  tangganya” ucap ‘Umar sedih.  
Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Sa’id, menyampaikan  salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau Setelah Gubernur Sa ‘id melihat pundi-pundi  berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, ‘inna lilahi wa inna ilaihi raji’un. (Kita milik Allah, pasti kembali kepada Allah).”  
Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu marabahaya sedang menimpanya. Kerana  itu isterinya segera menghampiri seraya bertanya, “Apa yang terjadi, hai ‘Sa ‘Id? Meninggalkah  Amirul Mu ‘minin?”  
“Bahkan lebih besar dan itu!” jawab Sa’id sedih. “Apakah tentara muslimin kalah berperang?” tanya Isterinya pula. “Jauh lebih besar dri itu!” jawab Sa’id tetap sedih. ‘Apa pulakah gerangan yang Iebih dari itu?” tanya isterinya tak sabar.  ‘Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah  tangga kita,’ jawab Sa’id mantap.
  
“Bebaskan dirimu daripadanya! “ kata isteri Sa’id memberi semangat, tanpa mengetahui  perihal adanya pundi pundi uang yang dikirimkan Khalifah ‘Umar untuk pribadi suaminya.  
“Mahukah Engkau menolongku berbuat demikian?” tanya Sa ‘id.  
‘Tentu...;! “jawab isterinya bersemangat. 
Maka Sa’id mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya isterinya membagi-bagi kepada fakir miskin. 
Tidak berapa lama kemudian, Khalifah ‘Umar berkunjung ke Syria, mengininspeksi  pemerintahan di sana. Dalam kunjungannya itu beliau. menyempatkan diri singgah di Himsh. Kota Himsh pada masa itu dinamai orang pula “Kuwaifah (Kufah kedil)”, kerana rakyat nya sering melapor kepada pemerintah pusat dengan kelemahan-kelemahan Gubernur mereka, persis seperti kelakuan masyarakat Kufah.  
Tatkala Khalifah singgah di sana, rakyat mengeluelukan beliau, mengucapkan Selamat  Datang. Khalifah bertanya kepada rakyat,“Bagaimana penilaian Saudara-Saudara terhadap kebijakan Gubernur.  
“Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada Khalifah,” jawab rakyat. 
“Saya akan pertemukan kalian dengan Gubernur kalian,” jawab Khalifah ‘Umar sambil  mendo’a: “Semoga sangka baik saya selama ini kepada Sa’id bin ‘Amir tidak salah.”  
Maka tatkala semua pihak—iaitu Gubernur dan masyarakat—telah lengkap berada di  
hadapan Khalifah, beliau bertanya kepada rakyat, “Bagaimana laporan saudara-saudara tentang kebijakan Gubernur Saudara-sau dara?”  
Pertanyaan Khalifah dijawab oleh seorang Juru Bicara.  
Pertama: Gubernur selalu tiba di tempat tugas setelah matahari tinggi.  
“Bagaimana tanggapan Anda mengenai laporan rakyat Anda itu, hai Sa ‘id?” tanya  Khalifah.  
Gubernur Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy diam sejenak. Kemudian dia berkata:  “Sesungguhnya saya keberatan menanggapinya. Tetapi apa boleh buat. Keluarga saya tidak  mempunyai pembantu. Kerana itu tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan roti lebih dahulu untuk mereka. Sesudah adonan itu asam (siap untuk dimasak), barulah saya buat roti. Kemudian saya berwudhu’. Sesudah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.”  
“Apa lagi laporan Saudara-saudara?” tanya Khalifah kepada hadirin.  
Kedua, Gubernur tidak bersedia melayani kami pada malam hari.”  
“Bagaimana pula tanggapan Anda mengenai itu, hai Sa’id?” tanya khalifah.  
“ Ini sesungguhnya lebih berat bagi saya menanggapinya, terutama di hadapan umum  seperti ini,” kata Sa ‘id. “Saya telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat,  malam hari untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,” lanjut Sa ‘id  
“Apa lagi,” tanya Khalifah kepada hadirin. 
Ketiga: Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.
“Bagaimana pula tanggapan Anda, hai Sa’id?” tanya Khalifah ‘Umar.  
“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak  mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badan ku ini.  Saya mencucinya sekali sebulan. Bila saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat,” ucap Said.  
‘Nah, apa lagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.  
Keempai: Sewaktu-waktu Gubernur menutup diri untuk  bicara. Pada saat-saat seperti itu, biasanya beliau pergi meninggalkan majlis.”  
“Silakan menanggapi, hai Gubernur Said!” kata Khalifah ‘Umar.  
“Ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin‘Ady dihukum mati oleh kaum Quraisy kafir. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?”  
Ejekan mereka itu dijawab oleh Khubaib, “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan  isteri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad tertusuk duri ...“  
‘Demi Allah...!” kata Sa’id. “Jika saya teringat akan peristiwa , di waktu mana saya  membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikit jua pun, maka saya merasa, bahwa dosaku  tidak akan diampuni Allah swt.”  
Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” kata Khalifah ‘Umar mengkahiri  dialog itu. Sekembalinya ke Madinah, Khalifah ‘Umar mengirimi Gubernur Sa’id seribu dinar untuk memenuhi kebutuhannya.Melihat jumlah uang sebanyak itu, isterinya berkata kepada Sa’jd, “Segala puji bagi Allah  yang mencukupi kita berkat pengabdianmu. Saya ingin uang ini kita pergunakan untuk membeli bahan pangan dan kelengkapan kelengkapan lain-lain. Dan saya ingin pula menggaji seorang pembantu rumah tangga untuk kita.”  
“Adakah usul yang lebih baik dari itu?” tanya Sa’id kepada isterinya.  
“Apa pulakah yang lebih baik dari itu? “ jawab isterinya balik bertanya.  
“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang  lebih baik bagi kita,” jawab Sa’id. “Mengapa....?” tanya isterinya.‘Dengan begitu berarti kita mendepositokan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Said.“Baiklah kalau begitu,” kata isterinya. “Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.” Sebelum mereka meninggalkan majlis, uang itu dimasukkan Sa ‘Id ke dalam beberapa pundi, lalu diperintah kannya kepada salah seorang keluarganya: ‘Pundi ini berikan kepada janda si Fulan. Pundi ini kepada anak yatim Si Fulan. ini kepada si Fulan yang miskin... dan seterusnya.”
Semoga Allah bswt. meridhai Sa’id bbin ‘Amir bAl-Jumahy. Dia btelah membeli akhirat  dengan menghindari godaan kemewahan dunia, dan mengutamakan keridhaan Allah bserta pahala yang berlipat ganda di akhirat, lebih dan segala-galanya. Amin!!!  

Tuesday, July 21, 2015

Jalan Perjuangan Hidup

Seorang pemuda dengan penuh kasih sayang membuka pembungkus Al-Qur'an yang dibawanya dalam sebuah handuk. Diciumnya kitab itu lalu meletakkannya dipangkuan. Pelajaran pun dimulai dengan sebuah pertanyaan dari pemimpin kelompok belajar itu. "Apa yang mendorong kalian mempelajari spritual?" "Menjadi prajurit." jawab seorang lelaki, "karena hal itu akan membuat saya lebih memahami ajaran-ajaran agama dari sebelumnya." Seorang perempuan yang lebih tua menimpali. "Ketika saya melihat seorang anggota fruit muda; saya melihat kekuatan dimatanya."

Sekitar tujuh puluh lima anggota Nation of Islam versi Louis Farrakhan berkumpul di aula Universitas Islam Chicago. Peserta kelompok belajar itu merasa seperti berada dalam kelas kursus Dale Carnegie di mana warna kulit hitam dipandang secara positif.

Sebagai inspirasi religius bagi para anggota, Nation of Islam menyusun beberapa pedoman belajar. Pedoman belajar itu merupakan kumpulan kutipan pidato-pidato Farrakhan secara harfiah yang dinamakan The Sayings of Minister Farrakhan (Ucapan-ucapan Menteri Farrakhan). Pedoman tersebut dipakai dalam pembahasan yang berbentuk tanya jawab.

Pada suatu kesempatan diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang cara mengalahkan "nafsu yang hina," penyembuhan ruhani, dan mengatasi masalah-masalah pribadi sekaligus. Ada empat kelompok di ruangan itu. Masing-masing kelompok mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan itu secara terpisah, kemudian bersama-sama mendengarkan Ava Muhammad, wakil Farrakhan, membacakan jawaban yang 'benar'.

"Pertanyaan-pertanyaan ini untuk kepemimpinan --untuk orang-orang yang berada dalam peralihan," kata Ava, yang mengenakan jubah kuning longgar. "Ini bukan pertanyaan-pertanyaan picisan."

Salah satu pertanyaannya adalah, "Langkah awal dalam proses kebangkitan kembali adalah proses penyadaran manusia --apakah langkah yang penting berikutnya?"
Jawab,"Pengasuhan dan pendidikan orang itu menuju kemantapan yang dapat membuatnya hidup dalam kehidupan yang layak secara Islami atau penuh ketakwaan."
"Jawaban yang benar" yang dibacakannya tampak menggetarkan hati hadirin.
"Hebat!" teriak Walter 3X, seorang pelajar sekolah menengah atas yang berumur tujuh belas tahun dengan potongan rambut model angkatan laut dan bersepatu yang bertirus lapisan krom.
"Lanjutkanlah, kawan!" teriak yang lain. "Ini lebih ampuh dari senjata apa pun yang dimiliki orang kulit putih!"
Pada akhir pertemuan, anggota paramiliter Fruit of Islam memberi hormat dengan khidmat pada bendera bintang dan bulan sabit, dan berbaris keluar. Yang lain mengikuti dengan wajah berseri-Seri, seolah-olah mereka baru saja mendengar kata-kata Allah.

Islam di Kantor Polisi New York (NYPD)

Oleh: Ali S. Asani
Kemarin, tgl 18 Januri 2001 pukul 9-12 siang, Police Inspector Imam Ezekil Pasha, Imam mesjid Malcom Shabbaz New York, yang juga kini menjabat sebagai Head NYPD Chaplain, mengadakan Forum Dialogue on Islam bersama Police Officers, FBI dan CIA di kota New York.
Kesan yang timbul, kebetulan saya ikut menjadi salah seorang nara sumbernya, bahwa betapa Islam lebih dikenal sebagai sebuah "tradisi hidup" yang dipraktekkan oleh berbagai manusia, dengan gaya dan pendekatannya masing-masing. Islam masih kerap diidentikkan sebagai agamanya orang-orang Arab. Seringkali diidentikkan sebagai agamanya orang-orang Iran yang pernah menyandera para diplomat Amerika. Seringkali diidentikkan sebagai agamanya, kelompok Hizbullah di Libanon, dan kelompok Al Fatah di Palestina.

Di mata mereka, Islam itu adalah apa yang tampak di hadapan mata mereka. Dan ternyata, sebagai akibat perjuangan keras anti Islam dan Muslim, mereka telah terkooptasi untuk memahami Islam dari sudut-sudut yang kurang mengenakkan. 

Pada forum itu dijelaskan segamblangnya makna dan pengertian jihad. Bahkan menurut saya, jangankan non Muslim, Muslim saja banyak yang salah faham dengan konsep jihad. Ternyata, pada acara itu dibagikan sebuah buku kecil "Kamus istilah-istilah Islam". Setelah dibuka, ternyata buku yang ditulis seorang Islam itu juga masih mengartikan jihad sengan "holy war". Masya Allah. Betapa kita sendiri yang memang jauh dari pemahaman ajaran agama kita yang sesungguhnya.

Setelah semua presentasi selesai, termasuk menjelaskan konsep jihad dalam Islam, barulah mereka sedikit menarik nafas panjang, bahwa ternyata islam yang mereka fahami selama ini tidak sesuai dengan Islam konsepsi Ilahi.

Saya tidak bermaksud membicarakan acara tersebut, karena pesan sponsor agar kegiatan ini tidak perlu terlalu menyolok. Maklumlah, kalau terlalu menyolok, pasti ada pihak-pihak yang tidak senang di kota ini.

Yang jelas, sekembali dari acara tersebut, segera saya buka Channel 7 News yang kembali membuka peristiwa pemboman USS College di Yaman. Bahkan pada acara Prime News di malam harinya digambarkan seolah kejadian itu mendapat legitimasi dari keyakinan ummat Islam. Memang menyakitnya, tapi itulah kenyataan, bahwa di saat kita berupaya membersihkan atau minimal meminimumkan pandangan negatif terhadap ajaran hanif ini, pada saat itu pula kita tertumbuk dengan situasi yang telah dijalin dalam sebuah lingkaran syetan. Entah siapa yang harus disalahkan. Yang jelas, tantangan ke depan bagi kita untuk mencari jalan terbaik dari semua ini. 

( Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan agama uuniversitas-universitas terkemuka. Meski nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di Kenya. Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang imigran.)
Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan agama uuniversitas-universitas terkemuka. Meski nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di Kenya. Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang imigran.

Monday, July 20, 2015

Allah di Harvard



Saya mempunyai seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme. Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan saya yang satu ini." "Pertanyaan apa itu?", tanya saya penasaran. "Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad, perang suci, dan terorisme?"
Kalau Anda buka kamus bahasa Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci " di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan 'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti "bekerja keras" atau "berjuang." Jadi kalau Anda berusaha keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus, dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.

Sayangnya, sering kali umat Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang sangat indah telah disalahartikan.

Beberapa tahun terakhir ini, konsep jihad telah diasosiasikan dengan agama Islam secara negatif. Orang menyebut Perang Teluk berhubungan dengan Islam. Padahal tak ada kaitan apapun antara Perang Teluk dengan agama Islam. Perang Teluk bukan disebabkan persoalan agama, tetapi persoalan politik. Namun semua orang tetap memandangnya seolah-olah ada kepentingan agama di dalamnya. Mereka serta merta mengira bahwa Islamlah yang menyebabkan semua itu.

Pemahaman semacam itu bukan saja sangat naif, tetapi juga amat mencemarkan. Pemahaman itu menggambarkan seolah-olah Muslim tak sama dengan umat manusia lain, yang juga dimotivasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial. Banyak orang mengira, satu-satunya yang mendorong tindakan mereka adalah agama.

Sebenarnya analisis itu juga bisa dibalik. Tengoklah Hitler yang mengaku dirinya Kristen yang taat. Dia pikir, yang dikerjakannya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh agama Kristen. Padahal yang dilakukan adalah perbuatan keji. Memang ada usaha untuk menjaga jarak antara perbuatannya dengan ajaran Kristen, karena tentu saja yang dilakukan Hitler lama sekali bukan tindakan yang dapat diterima oleh nilai-nilai Kristen.

Pada suatu masa, bangsa-bangsa Arab pernah menaklukkan Afrika Utara hingga Spanyol. Mereka memerintah hingga tujuh abad lamanya. Belakangan, Turki muncul dan menjadi ancaman bagi Eropa Timur. Jadi, saya pikir Eropa selalu sadar akan adanya sejumlah kelompok Muslim yang datang dari kiri kanannya. Dan tentu saja, bangsa-bangsa Muslim itu melakukan ekspansi tak lebih karena kepentingan pertumbuhan yang normal saja bagi sebuah kerajaan.

Patut dicatat bahwa penaklukan yang dilakukan oleh negeri-negeri Arab sama sekali bukan perang untuk memaksa rakyat untuk pindah agama, melainkan karena kepentingan politik. Namun banyak orang yang mengaitkannya dengan Islam, seraya menyebut-nyebut istilah "Tentara Islam". Mereka pikir satu-satunya motivasi orang-orang Arab dan Turki ketika itu adalah agama, tanpa menyadari bahwa mereka juga sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya, yang punya kepentingan politik. Mereka juga ingin kekayaan, sebagaimana kerajaan-kerajaan Eropa menginginkannya. Kalau ada peluang untuk ekspansi, mereka akan melakukannya.

Namun, saya kira ada yang beranggapan bahwa ada masyarakat tertentu, penganut suatu kepercayaan yang anti-Barat, dan menghalalkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan. Padahal, kalaupun Anda tengok sejarah kekuasaan Arab di Spanyol, tak pernah terjadi pemaksaan untuk bertukar agama menjadi Islam. Penganut Yahudi, Islam, dan Kristen tetap hidup berdampingan. Sebaliknya, ketika Katolik datang mengambil alih kekuasaan, Muslim dan Yahudi memperoleh tekanan.

Dalam sejarah konflik dan pertentangan inilah muncul stereotip-stereotip yang tak seharusnya terjadi. Stereotip menutupi segi-segi kemanusiaan yang utuh dari pihak lain. Kalau Anda pikir sekelompok orang sebagai orang-orang barbar, maka Anda tak akan lagi melihat  mereka sebagai  manusia biasa, yang mempunyai begitu banyak sisi. Dan kalau Anda  pikir masyarakat Muslim berbeda dengan lainnya, karena satu-satunya yang membuat mereka hidup adalah agama, berarti mereka adalah jenis manusia yang berbeda. Mereka tak punya perasaan yang sama seperti manusia lainnya. Dengan begitu, maka Anda dapat memperlakukannya semau Anda.

Pada abad-abad kedelapan belas, kesembilan belas, dan awal abad kedua puluh, ketika Eropa memerintah negeri-negeri Muslim, maka struktur kekuasaan berubah total. Ketika itu orang-orang Inggris memandang rendah penduduk asli. Perancis yang menguasai penduduk Muslim di Afrika Barat berpikir bahwa tugasnya adalah membuat orang-orang Muslim itu lebih beradab.

Jadi, ada pemahaman bahwa Islam merupakan ajaran yang primitif karena dikaitkan dengan kondisi sosial budaya rakyat yang ditaklukannya. Masalah serupa juga dihadapi oleh Muslim di negeri-negeri Eropa dewasa ini. Di Perancis misalnya, imigran Arab dari Afrika Utara, atau orang-orang keturunan Turki di Jerman, sering kali dianggap masih primitif.

Hal-hal yang dialami oleh Muslim di Amerika tak terjadi di tempat-tempat lainnya. Karena Amerika adalah negeri imigran, di sini Anda menyaksikan Muslim dari segala penjuru dunia, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pemahaman mereka tentang Islam juga sangat beragam, karenanya sering kali ada pertentangan, tetapi juga ada upaya untuk melakukan rekonsiliasi perbedaan itu.

Kini saatnya untuk bertanya: Apa sih artinya menjadi seorang Muslim? Kalau Anda pakai Islam sebagai ideologi politik, maka menjadi perlu untuk mendefinisikan siapa Muslim itu, bagaimana perilaku Muslim dan juga yang bukan Muslim. Dan kalau analisis dan pemahaman semacam ini Anda teruskan, maka Anda mendekati bahaya menafsirkan Islam secara bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.

Al-Quran menyebut bahwa tak ada paksaan dalam agama. Bagaimana mungkin sebuah negara atau pemerintahan menggunakan Islam sebagai ideologi politik dengan memaksa rakyatnya shalat lima waktu. Di Saudi Arabia, ada yang disebut "Polisi Agama". Anda harus menutup toko dan dagangan Anda untuk pergi shalat jika waktunya tiba. Itu bukan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, melainkan Islam yang digunakan sebagai alat politik.

Di banyak tempat di dunia Muslim, Anda temukan negara-negara yang mencoba mendefinisikan siapa Muslim dan siapa yang bukan Muslim, dan juga bagaimana perilaku yang Islami. Tetapi, di negeri ini, Amerika, Anda dapat menjadi seorang Muslim dan membicarakannya dengan sesama Muslim, tanpa ada seorang pun yang memaksa Anda untuk bergabung dengan kelompok mana pun. Inilah salah satu kehebatan Muslim di sini.

Dalam beragama, Anda membutuhkan dinamika, dan saya kira inilah yang sedang terjadi di Amerika. Bagi kelompok imigran, Islam masih merupakan tradisi dan istilah yang relatif baru. Dan masyarakat terus menerus melakukan pembenahan, belajar mengorganisasi kemajemukan dalam Islam. Ada usaha untuk lama-lama menyadari bahwa untuk menjadi seorang Muslim, kita dapat melalui banyak jalan, tanpa harus menghakimi satu lama lain.

Jihad saya sendiri meliputi dua hal: pertama, memahami standar ganda bagaimana Islam digambarkan di Barat; dan kedua, perjuangan untuk membuat kaum Muslimin memahami bahwa ada banyak jalan untuk menjadi Muslim. Syahadat itu ibarat sebuah tali yang menyatukan biji-biji tasbih. Semuanya tergabung menjadi satu dengan tali itu. Meskipun warnanya berbeda satu sama lain, biji-biji itu tetap merupakan satu kesatuan.

Beberapa tahun lalu, ada seorang Imam dari Islamic Center di New England. Dia seorang Sunni keturunan Lebanon, dan menjadi mahasiswa di sini. Dia diterima di Fakultas Teologi Harvard University untuk program master. Suatu ketika dia mengambil mata kuliah saya, "Pengantar Islam". Dia juga alumni Universitas Al-Azhar, Kairo. Ketika pertama kali bertemu dia saya katakan, "Apa ini masuk akal, seorang Imam dan Alumni Al-Azhar mengambil mata kuliah Pengantar Islam?" Kenapa tidak, katanya.

Di Al-Azhar, dia belajar Islam dengan interpretasi tertentu, yang amat berorientasi pada syariat, sebuah pandangan Sunni yang sangat klasik. Sedang dalam mata kuliah saya, mahasiswa diajak memahami berbagai jalan untuk menjadi Muslim. Kami mendiskusikan Al-Quran, kehidupan Muhammad Rasulullah. Kami mempelajari bagaimana Muslim menginterpretasikan banyak hal. Kami juga belajar bagaimana ahli sejarah agama yang tak memeluk Islam memandang Al-Quran dan figur Rasulullah. Di samping itu kami juga mempelajari berbagai aliran dalam Islam seperti Sunni, Syi'ah, dan berbagai etnik lain, terutama di negara-negara non-Arab.

Jadi itu merupakan pendekatan akademis Barat dalam memahami Islam dengan konteks yang amat luas. Kami juga mengkaji gerakan-gerakan Islam modern seperti Wahabbi di Saudi Arabia, reformasi di Afrika Barat, kasus Turki dan eksperimennya dengan Islam. Dan kami bicarakan juga hubungan Islam dan suku bangsa --di Amerika Serikat dan di Eropa. Jadi, saya pikir tak ada salahnya kalau seorang Imam seperti dia mempelajari banyak sisi tentang Islam. Semula saya sempat khawatir, apakah dia mau bersikap terbuka. Ternyata dia sungguh-sungguh serius, dan menulis beberapa makalah bagus.

Banyak Muslim yang memandang kemajemukan sebagai suatu ancaman, karena mereka pikir kalau setiap orang bisa mengaku Muslim, bisa-bisa kita kehilangan identitas yang paling mendasar sebagai seorang Muslim. Padahal, sesungguhnya kemajemukan merupakan sebuah kekuatan.

Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hak setiap Muslim untuk menafsirkan keimanannya dan perlunya menggunakan argumen yang logis untuk itu. Saya kira salah satu kekuatan dari masyarakat Islam generasi pertama, pada masa Rasul, adalah adanya kemajemukan pendapat, pandangan, dan banyaknya diskusi tentang berbagai pandangan itu.
Ada lagi sebuah hadis yang  menyatakan bahwa setiap orang berhak melakukan ijtihad. Suatu saat, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul: "Bagaimana kalau seseorang menafsirkan sesuatu dan ternyata benar?" Rasul berkata bahwa dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi jika ijtihad itu salah, dia masih memperoleh satu pahala. Karena telah berusaha untuk itu.

Pada akhir semester, saya meminta mahasiswa yang Imam itu menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari mata kuliah ini. Dia katakan, salah satu hal yang paling bermanfaat adalah bahwa dia belajar bagaimana berbicara tentang Islam dengan masyarakat Barat. Sering kali kita menyaksikan seorang Imam asal Timur Tengah diwawancarai media setiap ada kejadian yang berhubungan dengan Islam. Sayang, banyak di antara mereka yang tak dapat membahasakan perspektif Islam dengan idiom-idiom Amerika. Mereka selalu memberikan kesan atau pesan yang kurang pas. Tentu saja media masa senang dengan hal-hal semacam itu, karena makin mendukung stereotip. Beberapa waktu kemudian saya membaca sebuah media yang mengutip wawancara dengan Imam yang pernah jadi mahasiswa saya itu. Dia melakukannya dengan baik.

Untuk dapat berkomunikasi dengan jamaah yang amat beragam latar belakangnya --banyak di antaranya yang berpendidikan tinggi-- Anda harus dapat berbicara dengan bahasa mereka, dan jika Anda tak memiliki latar belakang pengetahuan seperti mereka, pembicaraan Anda tak akan menarik minat mereka.

Di Amerika, kantor-kantor Imam juga dirancang sedemikian rupa agar mirip dengan ruang kerja pendeta ataupun pastur. Dia bertutur pada saya: "Kegiatan yang saya lakukan disini tak bisa dibandingkan dengan tugas-tugas saya di Timur Tengah. Rasanya seperti jadi pendeta."

Pengalaman lain yang amat memalukan ada hubungannya dengan pekerjaan saya sebagai profesor agama Islam di Universitas ini. Baru-baru ini saya mengadakan kunjungan tiga minggu bersama alumni Harvard dan Yale ke Asia Selatan dan Timur Tengah. Kami menumpang sebuah kapal pesiar. Kapal itu bernama "The Great Trade Routes of the Indian Ocean and the Arabian Sea." Kami singgah di beberapa negara, mengunjungi banyak pelabuhan. Di atas kapal, tugas saya adalah mengajar sejarah, kebudayaan, bahasa, dan literatur wilayah-wilayah yang kami singgahi. Selama dua pekan lamanya saya menikmati berada di tengah-tengah mereka. Mereka juga tampak menikmati perjalanan itu, dan rasa ingin tahu mereka begitu tinggi. Pada salah satu sesi, saya memberi kuliah tentang Islam, mencoba menghapus stereotipnya.

Dalam perjalanan ke Jeddah dengan bus, kami melintasi sebuah bangunan masjid megah bercat putih. Masjid itu memiliki halaman depan yang cukup luas, dan ketika bus melintas di depan halaman itu si pemandu wisata bertutur: "Di halaman itulah setiap Jumat terjadi eksekusi." Para peserta pun lantas bertanya, "Eksekusi macam apa?" Dia jelaskan bahwa di situ dilakukan eksekusi dengan memenggal kepala, menggunakan pedang. "Itu dilakukan di depan umum," tambahnya. Hanya pada bulan Ramadhan eksekusi itu tak dilangsungkan. Kebetulan kami datang pada bulan Ramadhan. Dan salah seorang yang duduk di sebelah saya berujar, "Wah sayang sekali kita datang ke sini bukan pada 'Jumat berdarah'."

Inilah Arab Saudi. Negeri itu berusaha keras untuk memperbaiki citra Islam. Tetapi yang ditampilkan oleh masyarakat Arab malahan sebaliknya. Buklet tentang Islam memang mereka terbitkan dengan penampilan yang luar biasa indah. Sayang, dengan prihatin harus saya katakan bahwa Arab adalah bangsa yang paling banyak merugikan Islam, sekurang-kurangnya di mata publik. Saya merasa seluruh perjalanan saya dan apa pun yang saya lakukan, menjadi sia-sia. Kita dapat mengatakan apa pun kepada mereka, tetapi hal yang paling melekat di hati mereka adalah cerita tentang apa yang terjadi di halaman masjid megah bercat putih itu.

Ketika kami melintasi masjid itu, semua kamera pun lantas dimainkan. Dan Anda dapat bayangkan ketika mereka menunjukkan gambar hasil jepretannya kepada teman-teman di Amerika, sambil bercerita tentang eksekusi itu.

Citra adalah sesuatu yang sulit lepas dari ingatan manusia. Yang akan paling diingat tentang Timur Tengah adalah cerita tentang masjid dan eksekusi. Juga citra suatu masyarakat yang begitu represif. Tentang peran wanita. Mereka terheran-heran. Mereka bertanya kenapa kaum wanita tak boleh pergi ke Masjid. Padahal, tak ada satu pun ayat dalam Al-Quran yang melarang perempuan pergi ke Masjid, dan begitu pula tak ada satu pun hadis yang mengatur tentang itu. Sejarah juga menunjukkan bahwa di zaman Nabi, kaum wanita juga pergi ke Masjid. Dan saya berulang kali menjelaskan kepada mereka, "Di Amerika, para wanita pergi ke masjid dengan bebas."

Saya berharap mereka akan mengingat beberapa hal yang pernah saya ajarkan. Kami telah berusaha membedakan antara Islam sebagai sebuah agama dan keimanan dengan Islam sebagai ideologi politik.

Seorang wanita bertutur pada saya,"Al-Quran boleh saja mengatakan apa yang boleh dan apa yang tak boleh. Tetapi Muslim menjalankannya dengan cara mereka sendiri, dan itulah Islam, yang dipraktekkan dan kita lihat sehari-hari."
Yah, mau bilang apa lagi?
Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim. Menurut perkiraannya, hanya enam atau tujuh profesor Muslim yang mengajar Islam di jurusan agama uuniversitas-universitas terkemuka. Meski nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, Asani dilahirkan di Kenya. Pada 1973 dia masuk ke Amerika sebagai seorang imigran.